Mantan presiden Soeharto meninggal hari ini pada pukul 13.10 WIB pada usia 86 tahun. Menurut Ketua Tim Dokter Kepresidenan Mardjo Subiandono, almarhum mengalami kegagalan fungsi organ. Soeharto sempat dirawat selama 24 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.
Ketika mengumumkan meninggalnya presiden RI kedua itu, tim dokter didampingi tiga putra Soeharto, Siti Herdiyanti Rukmana, Sigit Haryo Yudanto, dan Siti Hediati yang berpakaian hitam. Dalam kesempatan tersebut, Siti Hedianti Rukmana, mewakili keluarga, mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang sudah memberikan doa setulus-tulusnya. Tutut juga memohon maaf atas kesalahan Soeharto. "Mohon doa restu semoga perjalanan bapak diridhoi," kata dia dengan nada terbata-bata. Jenazah rencananya akan dimandikan di Jalan Cendana. Saat berita ini diturunkan, ambulans telah bersiap di RSPP untuk membawa jenazah ke Cendana. Seluruh keluarga telah berkumpul. Ambulans direncanakan akan berangkat pada pukul 14.15 WIB.
kami atas keluarga SMU NEGRI 6 TANGERANG turut berduka cita atas meninggalnya beliau yaitu mantan perasiden RI k-2(SOEHARTO).
semoga beliau di terima di sisi tuhan yang Maha Esa,,AMIEN...!!!
semoga keluarga yang di tinggalkan tabah,ikhlas dan sabar merelakan kepergian beliau.
Sabtu, 01 Maret 2008
kasus BANK BLBI belum berakhir
Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia bermula dari krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Ketika itu, perekonomian nasional mengalami guncangan hebat akibat krisis nilai tukar yang dialami sejumlah negara di Asia yang kemudian merembet ke negara-negara lain termasuk Indonesia. Waktu itu pemerintah selalu menyatakan bahwa fundamental ekonomi nasional cukup kuat. Namun, setelah kurs rupiah terdepresiasi cukup tajam, BI justru mengubah sistem kurs mata uang dari semula menggunakan managed floating (mengambang terkendali) menjadi free floating (mengambang bebas). Dengan demikian, kurs mata uang tak lagi dikendalikan BI, tetapi diserahkan pada mekanisme pasar. Akibatnya, pergerakan rupiah menjelang akhir 1997 menjadi liar dan cenderung tak terkendali. Pada saat yang sama, banyak perbankan yang rekening gironya di BI bersaldo negatif dan tidak bisa ditutup sebagaimana mestinya. Sejak itu, kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan di Indonesia semakin merosot sehingga banyak nasabah yang mengambil uang dalam jumlah besar secara mendadak di perbankan. Pemerintah berupaya meredam keresahan masyarakat itu dengan melikuidasi 16 bank umum swasta nasional pada 1 November 2007. Alih-alih menenangkan masyarakat, keputusan melikuidasi bank itu justru semakin menambah kepanikan nasabah. Setelah itu, BI terpaksa memberikan dana talangan Rp 23 triliun. Itulah BLBI yang pertama kali dalam sejarah krisis ekonomi nasional. Kemudian jajaran Direksi BI waktu itu mengirim surat kepada Presiden Soeharto yang intinya memberitahukan rencana BI untuk mengatasi masalah saldo debet yang dialami perbankan nasional akibat rush tersebut. Kutipan surat itu antara lain berbunyi, "Sambil menunggu konsolidasi perbankan dan pulihnya kepercayaan terhadap perbankan, BI kiranya disetujui akan mengganti saldo debet tersebut dengan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Khusus, sesuai dengan memo terlampir." Usulan itu disetujui Presiden Soeharto melalui surat dari Kantor Sekretariat Negara berkualifikasi "rahasia dan sangat rahasia" Nomor R-183/M/Sesneg/12/1997 tertanggal 27 Desember 1997. Dalam surat itu antara lain disebutkan, "Maka dengan ini kami beritahukan bahwa Bapak Presiden menyetujui saran Direksi BI untuk mengganti saldo debet bank yang ada harapan sehat-sehat dengan SBPU Khusus sebagaimana dilaporkan dalam surat Sdr. Gubernur BI." Lalu dalam akhir surat itu ditutup dengan kalimat, "Bapak Presiden menilai langkah tersebut perlu dilakukan, untuk menjaga agar tidak banyak bank tahun sekarang ini yang terpaksa tutup dan dinyatakan bangkrut." Surat dari direksi BI dan surat dari Presiden waktu itu bisa menjadi kunci siapa sebenarnya yang pantas memikul tanggung jawab terhadap semua yang terjadi dengan kasus BLBI. Temuan BPK Pemerintah dan BI waktu itu meyakinkan masyarakat bahwa dana BLBI diberikan untuk memulihkan kepercayaan terhadap dunia perbankan. Namun, kenyataannya penyaluran dana BLBI, yang menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp 144,5 triliun, banyak yang diselewengkan sehingga menjadi beban anggaran negara. BPK yang telah melakukan audit investigasi atas penyaluran dan penggunaan BLBI menemukan adanya kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank, kelemahan manajemen penyaluran BLBI, penyimpangan dalam penggunaan BLBI, serta potensi kerugian negara akibat penyaluran dan penyimpangan dana BLBI. Berdasarkan hasil audit investigasi, BPK menilai kekeliruan BI dalam memberikan BLBI adalah pada saat BI tidak melakukan stop kliring kepada bank-bank yang rekening gironya di BI bersaldo negatif. BI pada saat itu tidak berani melakukan stop Wiring karena khawatir terjadi efek domino. Kekhawatiran ini merupakan suatu teori yang belum pernah teruji kebenarannya. Permasalahan itu menjadi besar karena sejak awal BI tidak tegas dalam menerapkan sanksi stop kliring. Sikap BI ini dimanfaatkan bankir nakal sehingga sejumlah bank terus bersaldo debet. Selain itu, direksi BI pernah membuat keputusan yang kurang berhati-hati, yaitu tak akan melakukan stop kliring meski mengetahui overdraft suatu bank sudah semakin membesar melebihi nilai asetnya. Salah satu keputusan yang akhirnya menjadi bumerang adalah keputusan BI pada pertengahan 1997 yang menyatakan bahwa bank-bank yang bersaldo debet rekeningnya di BI diperbolehkan untuk tetap ikut kliring, melakukan penarikan tunai, melakukan transfer dana ke cabang-cabang, sampai kondisi pasar uang mereda. Keputusan itu tak menyebut batas waktu dan maksimal bagi suatu bank untuk overdraft. Keputusan itu tampaknya bocor di kalangan bankir yang nakal sehingga mereka beramairamai terus melakukan overdraft bahkan sampai melebihi jumlah aset bank yang bersangkutan. Terkait dengan penyaluran BLBI, pada hakikatnya dana ini disalurkan BI untuk menanggulangi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas akibat dirush oleh nasabahnya. Namun, karena penyaluran BLBI itu dilakukan melalui mekanisme kliring, maka BI sesungguhnya tidak mengetahui apakah benar dana BLBI digunakan sepenuhnya untuk menanggulangi rush, dan bukan digunakan untuk kepentingan grup pemilik bank. Program penjaminan Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukarmenukar warkat dalam rangka memperlancar sistem pembayaran dan lalu lintas giral berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Pemberian BLBI tak terlepas dari program penjaminan kewajiban bank umum sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998. Namun, dalam praktiknya program penjaminan yang sudah dicanangkan pemerintah sejak 26 Januari 1998, yang diikuti dengan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), ternyata tidak dimanfaatkan oleh BI dan BPPN. Dalam salah satu kesimpulannya, BPK menyatakan, penyebab membengkaknya BLBI adalah karena BI dan BPPN tak segera melaksanakan program penjaminan secara konsisten. Dari hasil audit investigasi BPK diketahui, dana BLBI yang disalurkan sebesar Rp 144,5 triliun (posisi per 29 Januari 1999). BPK menemukan penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliun atau 95,7 persen dari total dana BLBI yang disalurkan. Sampai saat ini upaya penyelesaian BLBI belum menunjukkan hasil memadai. Upaya penyelesaian BLBI sudah mencapai satu dasawarsa dan melibatkan lima presiden, mulai dari zaman Soeharto, BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Tuntutan untuk mengusut kasus BLBI selalu muncul mewarnai pergantian pemerintahan hingga pergantian jaksa agung baru. Namun, tindak lanjut pengungkapan kasus itu tak ada kemajuan yang berarti. Masalahnya terletak pada komitmen dari para pemimpin pemerintahan dan pemimpin politik serta keseriusan aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti kasus itu. Jika tak ada komitmen dan keseriusan, yang muncul adalah sekadar move-move politik saja dan tak menyentuh kepentingan hukum dan rakyat.
gila kapan selesai nya ya kasus kaya gni???
belum lagi ngurusin pejabat yang pada korupsi di tambah kasus BLBI!!!
kapan abis nya sich korupsi di indonesia????
gila kapan selesai nya ya kasus kaya gni???
belum lagi ngurusin pejabat yang pada korupsi di tambah kasus BLBI!!!
kapan abis nya sich korupsi di indonesia????
banjir di indonesia
Banjir kembali melanda beberapa daerah di Indonesia. Biasanya banjir terjadi pada Januari atau Februari, tetapi pada musim hujan kali ini banjir besar terjadi akhir Desember 2007. Bahkan, pada awal musim hujan banjir sudah meluas di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.Banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat mengejutkan karena luapannya sangat luas menggenangi beberapa kabupaten, mulai dari Karanganyar, Solo, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. Selain banjir DAS Bengawan Solo, banjir DAS Wulan dan Juwana juga menggenangi sawah dan pemukiman di Pati, Kudus, dan Demak. Banjir ini merusak ribuan rumah warga, menghancurkan sawah penduduk, dan merenggut korban jiwa. Kalau digabungkan dengan akibat longsor maka jumlah penduduk yang tewas lebih dari 60 orang. Hal ini sudah sangat memprihatinkan dan harus menjadi perhatian khusus pemerintah.Banjir di DKI Jakarta pada Rabu dan Kamis 2-3/1/2008 hanya diakibatkan oleh hujan, Selasa, yang curahnya hanya 92 mm selama 24 jam. Hujan dengan curah 92 mm/hari di DAS Ciliwung tergolong hujan yang intensitasnya normal. Walaupun hujan masih normal, bahkan di bawah rata-rata hujan harian maksimum dengan periode ulang dua tahun, tetapi banjir yang diakibatkannya sudah besar. Beberapa kelurahan di Kampung Melayu dan Cawang dilanda banjir yang kedalamannya mencapai dua meter.Hal yang hampir sama terjadi di DAS Bengawan Solo (Jawa Tengah dan Jawa Timur), DAS Wulan, dan Juwana (Jawa Tengah). Seperti dikemukakan di atas, curah hujan tidak luar biasa dan dalam kategori normal. Apabila kondisi DAS di wilayah itu baik maka sebenarnya banjir luar biasa tidak akan terjadi. Namun, kenyataannya terjadi banjir besar. Semua keadaan ini mengindikasikan bahwa sudah terjadi degradasi lahan di DAS tersebut. Hal ini sejalan dengan data yang dipublikasikan oleh Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan bahwa jumlah lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia sudah mencapai 30 juta hektare. Apabila digabung dengan lahan agak kritis maka jumlahnya mencapai 70 juta ha. Jumlah hutan terdegradasi di seluruh Indonesia sudah mencapai 59 juta ha.Degradasi lahan tersebut mengakibatkan rusaknya fungsi hidrologis DAS. Kapasitas infiltrasi DAS menurun dan koefisien aliran permukaan meningkat. Berdasarkan analisis pada 2005, koefisien aliran permukaan DAS Ciliwung secara rata-rata sudah mencapai 0,54 dan sekarang mungkin sudah melebihi angka tersebut. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Dirjen RLPS, jumlah yang tergolong DAS Prioritas I mencapai 60, sedang yang tergolong Prioritas II mencapai 228.Penyebab DegradasiTerjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis DAS tersebut kemungkinan disebabkan beberapa faktor. Pertama, penggunaan dan peruntukan lahan menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Tata Ruang Daerah. Misalnya, daerah yang diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan menjadi pertanian, hutan produksi dialihfungsikan menjadi permukiman, lahan budi daya pertanian dialihfungsikan menjadi permukiman atau industri, dan sebagainya.Kedua penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak lahan yang semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan yang hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian, bahkan permukiman. Banyak lahan yang kemiringan lerengnya lebih dari 30 persen bahkan 45 persen masih dijadikan pertanian yang intensif atau jadi permukiman.Ketiga, perlakuan terhadap lahan di dalam DAS tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh lahan atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah, serta teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak memadai. Setiap penggunaan lahan (hutan, pertanian, industri, permukiman) harus sesuai dengan syarat, yakni menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai. Teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan belum tentu memadai di lahan yang lain. Pemilihan teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan sangat dipengaruhi oleh faktor bio-fisik (tanah, topografi, penggunaan lahan, hujan/iklim) lahan yang bersangkutan. Jenis teknik konservasi tanah dan air yang tersedia untuk dipilih dan diterapkan mulai dari yang paling ringan sampai berat, antara lain, penggunaan mulsa, penanaman mengikuti kontur, pengolahan mengikuti kontur, pengolahan tanah konservasi (tanpa olah tanah, pengolahan tanah minimum), pengaturan jarak tanam, penanaman dalam strip (strip cropping), dan penanaman berurutan (rotasi).Keempat, tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan masyarakat menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara memadai di setiap penggunaan lahan. Dengan tidak adanya UU ini maka masyarakat tidak merasa berkewajiban untuk melaksanakan teknik konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus meningkat.Faktor kelima, kurang memadainya kesungguhan pemerintah mencegah degradasi lahan. Hal ini terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan atau penerapan teknik konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan lahan. Departemen yang berkaitan dengan penggunaan lahan, seperti Departemen Pertanian, Departemen PU, dan Departemen Dalam Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi lahan dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air.Hal ini pun terindikasi dalam rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 - 2025. Dalam rancangan awal RPJPN tidak diindikasikan bahwa pencegahan degradasi lahan sebagai prioritas penting. Apabila hal ini berjalan terus maka minat generasi muda untuk mempelajari dan mendalami pencegahan degradasi sumber daya lahan akan memudar yang pada gilirannya dapat mengakibatkan tidak ada lagi orang yang mengetahui teknologi pencegahan degradasi lahan. Apabila ini terjadi maka malapetaka banjir, seperti yang dialami oleh masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, akan semakin sering terjadi.
kejadian ini akibat ulah manusi nya sendiri suka menebang pohon di hutan dan di jual kepada para penadah di luar negri!!
jadi masyarakat indonesia lah yang kena batu nya!!
banjir di mana-mana???
banyak warga yang mengungsi ke tempat yang lebih aman dan tidak banjir,dan mereka pun meninggalkan rumah mereka untuk menunggu banjir surut!!
dan mereka pun menjadi terlantar,maka nya jangan serakah jadi orang yang tidak berdosa pun jadi kesusahan......
kejadian ini akibat ulah manusi nya sendiri suka menebang pohon di hutan dan di jual kepada para penadah di luar negri!!
jadi masyarakat indonesia lah yang kena batu nya!!
banjir di mana-mana???
banyak warga yang mengungsi ke tempat yang lebih aman dan tidak banjir,dan mereka pun meninggalkan rumah mereka untuk menunggu banjir surut!!
dan mereka pun menjadi terlantar,maka nya jangan serakah jadi orang yang tidak berdosa pun jadi kesusahan......
UAN(ujian nasional)
UJIAN NASIONAL ANTARA HARAPAN DAN KECEMASAN(2007-2008)
Ujian Nasional (UN) selalu menarik perhatian semua elemen dalam masyarakat, setidaknya untuk lima tahun terakhir terutama sejak terjadinya perubahan fundamental pelaksanaan sistem ujian di Indonesia. Semua ahli, politisi, LSM, kalangan media, masyarakat umum dan orang tua, ikut berbicara. Menunjukkan rasa perhatian yang besar, juga rasa keprihatinan. Harapan dan juga kecemasannya masing masing. Semua kalangan berharap, tidak terjadi kecurangan lagi saat pelaksanaan UN, seperti yang disebut sebut selama ini. Stakeholder pendidikan, terutama Kepala sekolah, guru bidang studi yang di-UN-kan, siswa serta para orang tua-pun harap harap cemas, bila jumlah lulusan tidak mencapai target yang ditetapkan. Rasa cemas dapat memicu timbulnya perilaku negatif. Perilaku dimana stakeholder pendidikan, kepala sekolah, guru dan siswa dapat melakukan kerjasama mencari cara cara yang tidak sah saat pelaksanaan UN, tujuannya untuk mencapai target angka kelulusan yang telah ditetapkan. Suatu hal yang tabu untuk dilakukan. Rasa cemas hendaknya dikelola dengan baik dan dijadikan kekuatan untuk meningkatkan kelulusan dan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Rasa cemas hendaknya mendorong siswa belajar lebih tekun, mendorong guru mengajar lebih baik, mendorong kepala sekolah untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap proses pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Para orang tua juga harus memberi perhatian ekstra khusus terhadap pembelajaran anak anak mereka. Dan masyarakatpun, harus menciptakan suasana tenang yang dapat mendorong peserta ujian untuk dapat belajar dengan baik. Pemantapan persiapan untuk membekali siswa menghadapi UN sudah terprogram dengan baik, melalui upaya meningkatkan intensitas kegiatan belajar mengajar (KBM) dan tentu melakukan pendalaman materi secara intensif seperti yang dilakukan di berbagai sekolah di Yogyakarta. Sejak bulan April 2006 telah melakukan proses belajar mengajar secara intensif dengan memanfaatkan waktu efektif di sore hari. Bahkan mereka telah mencanangkan satu bulan sebelum pelaksanaan UN akan merubah jadwal pelajaran, dengan setiap hari siswa hanya khusus belajar mata pelajaran yang di-UN-kan. Siswa diberi pembekalan terhadap berbagai soal yang materinya diambil dari Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dibanyak tempat malah sebaliknya. Persiapan untuk membekali siswa menghadapi UN adem adem ayem aja. Kepala sekolah dan guru bidang studi yang di UN-kan tidak mempunyai konsep yang jelas, apa yang harus dilakukan dalam menghadapi UN. Tetapi sekolah dan para gurunya dijejali tanggung jawab penuh untuk dapat meluluskan anak didiknya 100%. Suatu angka yang harus dicapai, jika tidak, rentetannya sangat panjang. Di-cap tidak bisa menjaga nama baik, mencoreng muka dunia pendidikan dan pejabat pendidikan. Pun dianggap tidak dapat mengamankan kebijakan tertentu. Bagi sekolah swasta, rendahnya angka kelulusan membawa dampak, tidak diminatinya sekolah tersebut dimasa datang. Keadaan yang sangat keliru dan menodai makna pendidikan itu sendiri. Kontrovesi Ujian NasionalTahun 2003, adalah awal terjadinya polemik UN. Pada tahun tersebut, dunia pendidikan kita dikejutkan dengan lahirnya Ujian Akhir Nasional (UAN) sekaligus merupakan konversi dari sistem ujian model Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Konversi dari EBTANAS ke UAN dilatarbelakangi oleh makin rendahnya kualitas lulusan yang diuji lewat EBTANAS. Tidak ada decak kagum menyambut lahirnya terobosan baru ini. Suatu pembudaya-an terhadap standar kelulusan siswa, baru dimulai. Yang ada, reaksi yang berlebihan berupa kecaman dan penolakan dari masyarakat, termasuk suara vokal dari anggota dewan terhormat, kalangan legislatif.Saat pelaksanaan UN 2006, kalangan anggota DPR mengeluarkan kata penolakan saat akan dilaksanakannya UN. Padahal pada tahun 2005, DPR telah merestui dilaksanakannya UN asal tidak bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Alhasil, terbentuklah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Fenomena anggota DPR menolak ujian berskala nasional dan kemudian merestuinya, juga terjadi sejak diberlakukannya Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun 2003. Inkonsistensi ini melahirkan pertanyaan, ada apa dibalik kontroversi UN ?Penulis beranggapan bahwa kontroversi UN terjadi karena kesalahpahaman dalam menginterprestasikan pasal pasal yang berkaitan dengan evaluasi dalam UU Sisdiknas. Bagi mereka yang kontra UN, selalu menjadikan Pasal 57 Ayat (1) : ” Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan ”, sebagai rujukannya. Berbekal ayat ini mereka berdalih bahwa UN telah merampas hak pedagogi pendidik, menafikan peranan guru selama tiga tahun pembelajaran. Sesungguhnya, pendidiklah yang paling berhak menentukan lulus tidaknya peserta didik. Penilaian yang dilakukan oleh guru dimaknai sebagai penilaian internal. Sedangkan UN merupakan penilaian ekternal yang diselenggarakan untuk mengukur pencapaian standar nasional dan untuk memperoleh pengakuan yang lebih luas dari pada hasil penilaian internal. Banyak kalangan belum mengerti sepenuhnya makna yang terkandung dalam pelaksanaan UN. UN dilaksanakan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik pada setiap akhir satuan pendidikan, sehingga bagi mereka yang lulus akan mendapatkan sertifikat kelulusan sebagai tiket untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. UN harus dimaknai sebagai ujian berskala nasional yang standar kompetensi lulusan, kurikulum dan butir soalnya dikendalikan secara nasional. Dalam perspektif standar nasional secara langsung dan tidak langsung menyebabkan meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia. Sejalan dengan makna yang terkandung pada Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sering disebut dengan UU Sisdiknas), pasal 35 ayat (1) nya, secara eksplisit menyebutkan bahwa : ” standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berskala ”. Kaitannya dengan standar nasional pendidikan, UN merupakan salah satu cara untuk merealisasikan standar nasional dimaksud, khususnya berkaitan dengan standar kompetensi lulusan. Meski tingkat kelulusan siswa era EBTANAS nyaris sempurna 100%, berbeda dengan UAN dan UN, kelulusan peserta ujian bervariasi setiap tahunnya. Tergantung kesiapan peserta dan keprofesionalan guru dalam mengajar. Lalu, manakah yang lebih berkualitas, UN atau EBTANAS ?. Belum ada penelitian ke arah sana. Pakar Pendidikan, Fuad Hasan menyatakan bahwa : ” Ujian yang seluruh pesertanya lulus, sama buruknya dengan ujian yang seluruh pesertanya gagal ”. Suatu pernyataan yang sangat dalam maknanya.Peran PemerintahPemerintah sebagai pengemban amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mempunyai kewajiban menjamin pendidikan yang berkualitas untuk setiap warga negaranya. Karena itu, pemerintah wajib melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan formal dan non formal. Pendidikan yang berkualitas, berkontribusi besar pada peningkatan kualitas SDM Indonesia. Kualitas SDM juga ditentukan oleh banyaknya lulusan yang mempunyai kompetensi secara nasional maupun internasional.Pertanyaan yang perlu kita jawab adalah, dari mana kita memulai langkah memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia ? Sah sah saja kalau hal ini jadi bahan perdebatan dimasyarakat luas. Ada mazhab, dahulukan peningkatan kualitas dan kesejahteraan tenaga pendidik. Ada mazhab, perbaiki sarana dan prasarana pendidikan. Mazhab lainnya mengatakan, lakukan reformasi terhadap sistem kurikulum dan evaluasi. Silang pendapat ini baik dan mencerdaskan, asal tetap mengutamakan kepentingan dunia pendidikan kita di masa depan. Ada baiknya, upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia bisa dilakukan secara paralel dengan pemberian tanggung jawab yang proporsional dan profesional kepada setiap stakeholders pendidikan.Para ahli dari berbagai disiplin ilmu tetap fokus dengan komitmen keilmuwannya dan tidak asal berbicara di luar keahliannya dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Mereka harus menciptakan kesatuan harmoni dalam memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan. Jika itu dilakukan, upaya meningkatkan mutu pendidikan akan terasa ringan, tidak sulit dan jauh dari kerumitan seperti selama ini terjadi. Namun, jika dogma ” kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah ”, masih menghegomoni setiap ahli, setiap praktisi, politisi dan pemangku keputusan pendidikan di Indonesia, maka peningkatan kualitas pendidikan tetap akan menjadi kemustahilan dan nampak sebagai sebuah kesulitan yang teramat besar. Tanggung jawab besar inilah yang harus diemban pemerintah dalam me-eleminir setiap kebijakan kebijakan in-efektif dan in-efisiensi dalam memajukan kualitas pendidikan di Indonesia.Pemerintah juga mempunyai tanggung jawab penuh untuk mensosialisasikan UN, dampak baik dan buruknya, hingga masyarakat luas memahami benar untuk apa UN diadakan. Masyarakat masih beranggapan, bahwa UN sebagai satu satunya penentu kelulusan. Padahal masih ada komponen penting lainnya yang ditentukan pendidik dan satuan pendidikan. Pemerintah dituntut penuh untuk membentuk Lembaga Independen yang memiliki otoritas penuh terhadap penyelenggaran UN, seperti terdapat di banyak negara. Tidak seperti sekarang ini. Banyak pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan UN. Soal dibuat oleh Puspendik Diknas, yang mencetak soal urusan Diknas Provinsi dan yang menetapkan standar kelulusan BSNP. Kalau terjadi kebocoran soal, siapa yang harus bertanggung jawab ? Jika ada lembaga independennya, kebocoran soal menjadi tanggung jawab penuh lembaga dimaksud. Pihak pihak yang berkompeten, tinggal meminta pertanggung jawaban lembaga tersebut, tidak ada lagi upaya mencari kambing hitam, sebagaimana kebiasaan yang terjadi selama ini.Menuju Sumber Daya Manusia BerkualitasRendahnya kualitas pendidikan Indonesia, dapat dilihat dari beberapa indikator UN. UN tahun 2006, menetapkan angka standar kelulusan tiap mata pelajaran minimal 4,26 dan standar kelulusan rata rata semua mata pelajaran yang di-UN-kan harus lebih besar dari 4,50. Maknanya peserta ujian wajib mencapai nilai di atas 4,25 tiap mata pelajaran sekaligus harus memperoleh nilai rata rata semua mata pelajaran di atas 4,5 untuk dinyatakan lulus UN. Pemerintah melalui BSNP menetapkan angka batas standar kelulusan 4,26 dari skala 10. Pengertian sederhananya bahwa setiap siswa harus mempunyai kemampuan dalam menguasai materi ajar sebesar 42,6% dari semestinya 100%. Jelas angka 42,6% itu masih di bawah rata rata. Prosentase inilah yang baru dapat dipatok pemerintah melalui UN, untuk dapat meluluskan siswanya. Suatu angka yang masih rendah bila dibandingkan dengan negara negara tetangga kita. Rendahnya kualitas lulusan ini berkontribusi signifikan terhadap makin merosotnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dan menempatkan Indonesia pada urutan ke-111 dari dari 177 negara dalam hal pencapaian Human Development Index (HDI), lebih rendah dari Vietnam. Apa boleh buat, itulah baru kualitas pendidikan kita.Melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Pemerintah telah mengumumkan bahwa standar kelulusan UN tahun 2007 makin tinggi dan menggunakan standar ganda. Peserta UN dinyatakan lulus, jika memiliki nilai rata rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan catatan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal 6,0. Khusus untuk siswa SMK, nilai mata pelajaran kompetensi kejuruan minimum 7,00. Standar kelulusan ganda ini merupakan standar minimal, sehingga satuan pendidikan dapat menentukan standar kelulusan UN lebih tinggi lagi.Setelah siswa mampu melewati standar kelulusan minimal UN, mereka tidak serta merta dinyatakan lulus dari Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Siswa dapat dinyatakan lulus, apabila : (1) telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, (2) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok, mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan, (3) lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan (4) lulus ujian nasional (UN).Penilaian akhir untuk masing masing kelompok mata pelajaran dilakukan oleh Satuan Pendidikan dengan mempertimbangkan hasil penilaian siswa oleh pendidik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan efeksi siswa, serta melalui ulangan dan atau penugasan untuk mengukur asfek kognitif siswa. Pengamatan yang dilakukan untuk menilai kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dapat berdasarkan pada indikator : (1) rajin melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang dianut, (2) rajin mengikuti kegiatan keagamaan, (3) jujur dalam perkataan dan perbuatan (4) mematuhi aturan sekolah, (5) hormat terhadap pendidik dan (6) tertib ketika mengikuti pelajaran di kelas. Ulangan dan atau penugasan dilakukan sekolah /madrasah dengan materi ujian berdasarkan pada kurikulum yang digunakan. Hasil penilaian akhir terdiri dari dua aspek yang masing masingnya harus minimum baik. Hasil pengamatan terhadap perkembangan perilaku, minimum baik, hasil ulangan dan atau penugasan minimum baik. Ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan tujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan pada mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tidak diujikan pada UN, yang terdiri dari ujian tertulis dan ujian praktek. Naskah soal ujian dikembangkan oleh pendidik dan satuan pendidikan. Hasilnya digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan keberhasilan siswa dari satuan pendidikan, pembinaan siswa, pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangan fasilitas dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.
tapi gw yakin sisws-siswi smu 6 bakal lulus semua!!!!!!
karena guru" di smu 6 tangerang ini mengajarkan para murid nya dengan penuh kesabaran dan semangat yang tinggi!!!
maka dari itu gw ma temen" yang kaen yakin semua nya bakal lulus!!!!
aaammmiiieeeennnnnnn...........
semangat dan jangan putus asa!!!!!!!
Ujian Nasional (UN) selalu menarik perhatian semua elemen dalam masyarakat, setidaknya untuk lima tahun terakhir terutama sejak terjadinya perubahan fundamental pelaksanaan sistem ujian di Indonesia. Semua ahli, politisi, LSM, kalangan media, masyarakat umum dan orang tua, ikut berbicara. Menunjukkan rasa perhatian yang besar, juga rasa keprihatinan. Harapan dan juga kecemasannya masing masing. Semua kalangan berharap, tidak terjadi kecurangan lagi saat pelaksanaan UN, seperti yang disebut sebut selama ini. Stakeholder pendidikan, terutama Kepala sekolah, guru bidang studi yang di-UN-kan, siswa serta para orang tua-pun harap harap cemas, bila jumlah lulusan tidak mencapai target yang ditetapkan. Rasa cemas dapat memicu timbulnya perilaku negatif. Perilaku dimana stakeholder pendidikan, kepala sekolah, guru dan siswa dapat melakukan kerjasama mencari cara cara yang tidak sah saat pelaksanaan UN, tujuannya untuk mencapai target angka kelulusan yang telah ditetapkan. Suatu hal yang tabu untuk dilakukan. Rasa cemas hendaknya dikelola dengan baik dan dijadikan kekuatan untuk meningkatkan kelulusan dan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Rasa cemas hendaknya mendorong siswa belajar lebih tekun, mendorong guru mengajar lebih baik, mendorong kepala sekolah untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap proses pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Para orang tua juga harus memberi perhatian ekstra khusus terhadap pembelajaran anak anak mereka. Dan masyarakatpun, harus menciptakan suasana tenang yang dapat mendorong peserta ujian untuk dapat belajar dengan baik. Pemantapan persiapan untuk membekali siswa menghadapi UN sudah terprogram dengan baik, melalui upaya meningkatkan intensitas kegiatan belajar mengajar (KBM) dan tentu melakukan pendalaman materi secara intensif seperti yang dilakukan di berbagai sekolah di Yogyakarta. Sejak bulan April 2006 telah melakukan proses belajar mengajar secara intensif dengan memanfaatkan waktu efektif di sore hari. Bahkan mereka telah mencanangkan satu bulan sebelum pelaksanaan UN akan merubah jadwal pelajaran, dengan setiap hari siswa hanya khusus belajar mata pelajaran yang di-UN-kan. Siswa diberi pembekalan terhadap berbagai soal yang materinya diambil dari Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dibanyak tempat malah sebaliknya. Persiapan untuk membekali siswa menghadapi UN adem adem ayem aja. Kepala sekolah dan guru bidang studi yang di UN-kan tidak mempunyai konsep yang jelas, apa yang harus dilakukan dalam menghadapi UN. Tetapi sekolah dan para gurunya dijejali tanggung jawab penuh untuk dapat meluluskan anak didiknya 100%. Suatu angka yang harus dicapai, jika tidak, rentetannya sangat panjang. Di-cap tidak bisa menjaga nama baik, mencoreng muka dunia pendidikan dan pejabat pendidikan. Pun dianggap tidak dapat mengamankan kebijakan tertentu. Bagi sekolah swasta, rendahnya angka kelulusan membawa dampak, tidak diminatinya sekolah tersebut dimasa datang. Keadaan yang sangat keliru dan menodai makna pendidikan itu sendiri. Kontrovesi Ujian NasionalTahun 2003, adalah awal terjadinya polemik UN. Pada tahun tersebut, dunia pendidikan kita dikejutkan dengan lahirnya Ujian Akhir Nasional (UAN) sekaligus merupakan konversi dari sistem ujian model Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Konversi dari EBTANAS ke UAN dilatarbelakangi oleh makin rendahnya kualitas lulusan yang diuji lewat EBTANAS. Tidak ada decak kagum menyambut lahirnya terobosan baru ini. Suatu pembudaya-an terhadap standar kelulusan siswa, baru dimulai. Yang ada, reaksi yang berlebihan berupa kecaman dan penolakan dari masyarakat, termasuk suara vokal dari anggota dewan terhormat, kalangan legislatif.Saat pelaksanaan UN 2006, kalangan anggota DPR mengeluarkan kata penolakan saat akan dilaksanakannya UN. Padahal pada tahun 2005, DPR telah merestui dilaksanakannya UN asal tidak bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Alhasil, terbentuklah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Fenomena anggota DPR menolak ujian berskala nasional dan kemudian merestuinya, juga terjadi sejak diberlakukannya Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun 2003. Inkonsistensi ini melahirkan pertanyaan, ada apa dibalik kontroversi UN ?Penulis beranggapan bahwa kontroversi UN terjadi karena kesalahpahaman dalam menginterprestasikan pasal pasal yang berkaitan dengan evaluasi dalam UU Sisdiknas. Bagi mereka yang kontra UN, selalu menjadikan Pasal 57 Ayat (1) : ” Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan ”, sebagai rujukannya. Berbekal ayat ini mereka berdalih bahwa UN telah merampas hak pedagogi pendidik, menafikan peranan guru selama tiga tahun pembelajaran. Sesungguhnya, pendidiklah yang paling berhak menentukan lulus tidaknya peserta didik. Penilaian yang dilakukan oleh guru dimaknai sebagai penilaian internal. Sedangkan UN merupakan penilaian ekternal yang diselenggarakan untuk mengukur pencapaian standar nasional dan untuk memperoleh pengakuan yang lebih luas dari pada hasil penilaian internal. Banyak kalangan belum mengerti sepenuhnya makna yang terkandung dalam pelaksanaan UN. UN dilaksanakan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik pada setiap akhir satuan pendidikan, sehingga bagi mereka yang lulus akan mendapatkan sertifikat kelulusan sebagai tiket untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. UN harus dimaknai sebagai ujian berskala nasional yang standar kompetensi lulusan, kurikulum dan butir soalnya dikendalikan secara nasional. Dalam perspektif standar nasional secara langsung dan tidak langsung menyebabkan meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia. Sejalan dengan makna yang terkandung pada Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sering disebut dengan UU Sisdiknas), pasal 35 ayat (1) nya, secara eksplisit menyebutkan bahwa : ” standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berskala ”. Kaitannya dengan standar nasional pendidikan, UN merupakan salah satu cara untuk merealisasikan standar nasional dimaksud, khususnya berkaitan dengan standar kompetensi lulusan. Meski tingkat kelulusan siswa era EBTANAS nyaris sempurna 100%, berbeda dengan UAN dan UN, kelulusan peserta ujian bervariasi setiap tahunnya. Tergantung kesiapan peserta dan keprofesionalan guru dalam mengajar. Lalu, manakah yang lebih berkualitas, UN atau EBTANAS ?. Belum ada penelitian ke arah sana. Pakar Pendidikan, Fuad Hasan menyatakan bahwa : ” Ujian yang seluruh pesertanya lulus, sama buruknya dengan ujian yang seluruh pesertanya gagal ”. Suatu pernyataan yang sangat dalam maknanya.Peran PemerintahPemerintah sebagai pengemban amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mempunyai kewajiban menjamin pendidikan yang berkualitas untuk setiap warga negaranya. Karena itu, pemerintah wajib melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan formal dan non formal. Pendidikan yang berkualitas, berkontribusi besar pada peningkatan kualitas SDM Indonesia. Kualitas SDM juga ditentukan oleh banyaknya lulusan yang mempunyai kompetensi secara nasional maupun internasional.Pertanyaan yang perlu kita jawab adalah, dari mana kita memulai langkah memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia ? Sah sah saja kalau hal ini jadi bahan perdebatan dimasyarakat luas. Ada mazhab, dahulukan peningkatan kualitas dan kesejahteraan tenaga pendidik. Ada mazhab, perbaiki sarana dan prasarana pendidikan. Mazhab lainnya mengatakan, lakukan reformasi terhadap sistem kurikulum dan evaluasi. Silang pendapat ini baik dan mencerdaskan, asal tetap mengutamakan kepentingan dunia pendidikan kita di masa depan. Ada baiknya, upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia bisa dilakukan secara paralel dengan pemberian tanggung jawab yang proporsional dan profesional kepada setiap stakeholders pendidikan.Para ahli dari berbagai disiplin ilmu tetap fokus dengan komitmen keilmuwannya dan tidak asal berbicara di luar keahliannya dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Mereka harus menciptakan kesatuan harmoni dalam memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan. Jika itu dilakukan, upaya meningkatkan mutu pendidikan akan terasa ringan, tidak sulit dan jauh dari kerumitan seperti selama ini terjadi. Namun, jika dogma ” kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah ”, masih menghegomoni setiap ahli, setiap praktisi, politisi dan pemangku keputusan pendidikan di Indonesia, maka peningkatan kualitas pendidikan tetap akan menjadi kemustahilan dan nampak sebagai sebuah kesulitan yang teramat besar. Tanggung jawab besar inilah yang harus diemban pemerintah dalam me-eleminir setiap kebijakan kebijakan in-efektif dan in-efisiensi dalam memajukan kualitas pendidikan di Indonesia.Pemerintah juga mempunyai tanggung jawab penuh untuk mensosialisasikan UN, dampak baik dan buruknya, hingga masyarakat luas memahami benar untuk apa UN diadakan. Masyarakat masih beranggapan, bahwa UN sebagai satu satunya penentu kelulusan. Padahal masih ada komponen penting lainnya yang ditentukan pendidik dan satuan pendidikan. Pemerintah dituntut penuh untuk membentuk Lembaga Independen yang memiliki otoritas penuh terhadap penyelenggaran UN, seperti terdapat di banyak negara. Tidak seperti sekarang ini. Banyak pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan UN. Soal dibuat oleh Puspendik Diknas, yang mencetak soal urusan Diknas Provinsi dan yang menetapkan standar kelulusan BSNP. Kalau terjadi kebocoran soal, siapa yang harus bertanggung jawab ? Jika ada lembaga independennya, kebocoran soal menjadi tanggung jawab penuh lembaga dimaksud. Pihak pihak yang berkompeten, tinggal meminta pertanggung jawaban lembaga tersebut, tidak ada lagi upaya mencari kambing hitam, sebagaimana kebiasaan yang terjadi selama ini.Menuju Sumber Daya Manusia BerkualitasRendahnya kualitas pendidikan Indonesia, dapat dilihat dari beberapa indikator UN. UN tahun 2006, menetapkan angka standar kelulusan tiap mata pelajaran minimal 4,26 dan standar kelulusan rata rata semua mata pelajaran yang di-UN-kan harus lebih besar dari 4,50. Maknanya peserta ujian wajib mencapai nilai di atas 4,25 tiap mata pelajaran sekaligus harus memperoleh nilai rata rata semua mata pelajaran di atas 4,5 untuk dinyatakan lulus UN. Pemerintah melalui BSNP menetapkan angka batas standar kelulusan 4,26 dari skala 10. Pengertian sederhananya bahwa setiap siswa harus mempunyai kemampuan dalam menguasai materi ajar sebesar 42,6% dari semestinya 100%. Jelas angka 42,6% itu masih di bawah rata rata. Prosentase inilah yang baru dapat dipatok pemerintah melalui UN, untuk dapat meluluskan siswanya. Suatu angka yang masih rendah bila dibandingkan dengan negara negara tetangga kita. Rendahnya kualitas lulusan ini berkontribusi signifikan terhadap makin merosotnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dan menempatkan Indonesia pada urutan ke-111 dari dari 177 negara dalam hal pencapaian Human Development Index (HDI), lebih rendah dari Vietnam. Apa boleh buat, itulah baru kualitas pendidikan kita.Melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Pemerintah telah mengumumkan bahwa standar kelulusan UN tahun 2007 makin tinggi dan menggunakan standar ganda. Peserta UN dinyatakan lulus, jika memiliki nilai rata rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan catatan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal 6,0. Khusus untuk siswa SMK, nilai mata pelajaran kompetensi kejuruan minimum 7,00. Standar kelulusan ganda ini merupakan standar minimal, sehingga satuan pendidikan dapat menentukan standar kelulusan UN lebih tinggi lagi.Setelah siswa mampu melewati standar kelulusan minimal UN, mereka tidak serta merta dinyatakan lulus dari Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Siswa dapat dinyatakan lulus, apabila : (1) telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, (2) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok, mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan, (3) lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan (4) lulus ujian nasional (UN).Penilaian akhir untuk masing masing kelompok mata pelajaran dilakukan oleh Satuan Pendidikan dengan mempertimbangkan hasil penilaian siswa oleh pendidik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan efeksi siswa, serta melalui ulangan dan atau penugasan untuk mengukur asfek kognitif siswa. Pengamatan yang dilakukan untuk menilai kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dapat berdasarkan pada indikator : (1) rajin melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang dianut, (2) rajin mengikuti kegiatan keagamaan, (3) jujur dalam perkataan dan perbuatan (4) mematuhi aturan sekolah, (5) hormat terhadap pendidik dan (6) tertib ketika mengikuti pelajaran di kelas. Ulangan dan atau penugasan dilakukan sekolah /madrasah dengan materi ujian berdasarkan pada kurikulum yang digunakan. Hasil penilaian akhir terdiri dari dua aspek yang masing masingnya harus minimum baik. Hasil pengamatan terhadap perkembangan perilaku, minimum baik, hasil ulangan dan atau penugasan minimum baik. Ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan tujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan pada mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tidak diujikan pada UN, yang terdiri dari ujian tertulis dan ujian praktek. Naskah soal ujian dikembangkan oleh pendidik dan satuan pendidikan. Hasilnya digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan keberhasilan siswa dari satuan pendidikan, pembinaan siswa, pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangan fasilitas dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.
tapi gw yakin sisws-siswi smu 6 bakal lulus semua!!!!!!
karena guru" di smu 6 tangerang ini mengajarkan para murid nya dengan penuh kesabaran dan semangat yang tinggi!!!
maka dari itu gw ma temen" yang kaen yakin semua nya bakal lulus!!!!
aaammmiiieeeennnnnnn...........
semangat dan jangan putus asa!!!!!!!
Langganan:
Postingan (Atom)